
Jakarta – Undang-undang UU Cipta Kerja Omnibus Law yang baru disahkan DPR menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Ketentuan dalam UU Cipta Kerja menyinggung berbagai hal salah satunya sertifikasi produk halal yang digunakan masyarakat.
Sebelumnya, Indonesia telah memiliki UU Jaminan Produk Halal nomor 33 tahun 2014. Nah, ada beberapa poin yang harus diperhatikan dalam Undang-undang UU Cipta Kerja Omnibus Law terkait produk halal, misal pengertian sertifikat halal.
“Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu Produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal,” begitu salah satu ketentuan dalam Undang-undang UU Cipta Kerja Omnibus Law yang berbeda dengan UU Jaminan Produk Halal dengan tidak menyertakan MUI.
Berikut empat poin sertifikasi halal dalam Undang-undang UU Cipta Kerja Omnibus Law:
1. Undang-undang UU Cipta Kerja Omnibus Law terkait halal untuk pengusaha mikro
UU Cipta Kerja menambah pasal 4A yang menyatakan, sertifikasi halal bagi pelaku UMKM didasarkan pada pernyataan pelaku usaha yang sebelumnya dilakukan Proses Produk Halal (PPH). Mekanisme PPH ditetapkan berdasarkan mekanisme halal yang dilakukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Pelaku UMKM juga tidak perlu membayar sertifikasi halal.
“Dalam hal permohonan Sertifikasi Halal sebagaimana dimaksud ayat (1) diajukan oleh Pelaku Usaha Mikro dan Kecil, tidak dikenai biaya,” tulis Undang-undang UU Cipta Kerja Omnibus Law pasal 44.
2. Undang-undang UU Cipta Kerja Omnibus Law menghapus syarat auditor halal
Sebelumnya UU nomor 33 tahun 2014 ada beberapa syarat untuk auditor halal yaitu wajib beragama Islam, WNI, berwawasan luas terkait kehalalan produk dan syariat agama. Auditor juga wajib berpendidikan minimal S1 bidang bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, atau farmasi. Dengan dihapusnya syarat ini maka peluang untuk menjadi auditor halal terbuka lebih lebar.
3. Undang-undang UU Cipta Kerja Omnibus Law terkait PPH
Sebelumnya pelaku usaha wajib memisahkan lokasi, tempat, dan alat yang digunakan untuk PPH sesuai UU Jaminan Produk Halal. Jika tidak melaksanakan aturan ini, pengusaha terancam sanksi administratif berupa peringatan tertulis atau denda. Sanksi ini diubah dalam RUU Cipta menjadi hanya sanksi administratif tanpa dijelaskan lebih detail.
4. Undang-undang UU Cipta Kerja Omnibus Law menentukan lamanya proses verifikasi halal
UU Cipta Kerja pasal 29 menyatakan, Jangka waktu verifikasi permohonan sertifikat halal paling lama satu hari kerja. Permohonan sertifikat halal dilengkapi data pelaku usaha, nama dan jenis produk, daftar produk dan bahan yang digunakan, serta proses pengolahan produk. Permohonan Sertifikat Halal diajukan pengusaha kepada BPJPH.
5. Undang-undang UU Cipta Kerja Omnibus Law terkait proses perpanjangan sertifikasi halal
Undang-undang UU Cipta Kerja Omnibus Law mengatur khusus pelaku usaha yang ingin melakukan perpanjangan sertifikasi halal, tanpa mengubah PPH dan komposisi. BPJPH bisa langsung menerbitkan perpanjangan sertifikasi halal tanpa perlu melakukan sidang fatwa halal.
6. Undang-undang RUU Cipta Kerja Omnibus Law terkait sanksi administratif
UU Jaminan Produk Halal mengatur jenis sanksi administratif yang diterima jika tidak melaksanakan ketentuan sertifikasi halal. Sanksi dijatuhkan sesuai pelanggaran yang dilakukan. Dalam Undang-undang UU Cipta Kerja Omnibus Law sanksi administratif tidak dijelaskan lebih lanjut berikut jenis pelanggarannya. (Dtk)